UNM Gelar Kuliah Umum Hadirkan Wamenkumham

Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Prodi Ilmu Hukum Universitas Negeri Makassar (UNM) menggelar kuliah umum yang membahas Quo Vadis Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kuliah umum ini digelar secara luring terbatas, Menghadirkan 3 keynote Speaker atau pembicara, yaitu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Republik Indonesia, Prof. DR. Edward Omar Sharif Hiariej. di Lt 3 Gedung Teater Pinisi, Kamis (8/4/2021).

Serta Zainal Arifin Mochtar pakar hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Prof Hasnawi Haris selaku Wakil Rektor I Universitas Negeri Makassar.

Dalam pemaparannya, Prof Edward menjelaskan, bahwa RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu system kodifikasi hukum pidana nasional. 

Bertujuan untuk menggantikan KUHP lama, yang merupakan produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia – Belanda.

“KUHP warisan kolonial hindia belanda telah berkembang secara massif, dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum yang di atur dalam kodifikasi,” jelasnya.

Lanjutnya, pada tahun 1963 telah di adakan seminar Hukum Nasional I, dan telah di mulai pembentukan RUU KUHP yang baru. Ia mencontohkan, Belanda membutuhkan waktu sekitar 70 tahun setelah merdeka, untuk membuat KUHP sendiri.

“Tetapi memang membuat KUHP membutuhkan waktu yang tidak sebentar,” katanya.

Wamenkumham berharap, kuliah umum ini bisa menghimpun masukan-masukan dari berbagai pihak, yang menaruh perhatian pada perkembangan hukum Pidana.

Serta untuk menyamakan persepsi masyarakat terhadap pasal dalam RUU KUHP. Sehingga pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang – undangan, bisa disajikan secara transparansi dan melibatkan masyarakat.

“Hari ini gagasan terkait pembentukan RUU KUHP, yang merupakan estafet dari pada pendahulu, yang mutlak harus kita wujudkan sebagai salah satu magnum opus karya anak bangsa, dan patut kita banggakan,” ujarnya

Ia pun mengharapkan, Diskusi Publik ini dapat menghasilkan masukan-masukan yang konstruktif, untuk menghasilkan hukum pidana materil yang lebih baik bagi Indonesia.

Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan, tentang pandangannya terkait perkembangan hukum.
Menurutnya, awalnya negara – negara di dunia hanya menganut hukum positifistik, yaitu hukum yang tergantung dari pemilik otoritas yang membuat hukum itu sendiri.

Sehingga etika moral tidak terlalu mempengaruhi suatu pembentukan hukum. Namun, menurut Zainal, pandangan ini akan membuat negara menjadi sangat kuat.

“Memang dalam perkembangannya, hukum positif itu beriringan dengan menguatnya negara. Jadi semakin kuat suatu negara, maka hukum positif juga akan menguat,” jelasnya.

Padahal menurutnya, sebagai otoritas, negara itu harus selalu dicurigai.

“Yah jadi jangan menyalahkan rakyat kalau mereka mengkritisi negara, karena itu memang sudah kodratnya,” katanya

Apalagi menurutnya, pengalaman sejarah selama ini, membuktikan negara sudah sering kali melakukan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya.

“Karena negara harus dicurigai, makanya pemahaman positifistik bergeser ke hukum antroposentrisme, yaitu pemahaman, bahwa hukum itu yang harus dilihat manusianya,” jelasnya.

Dan itu menyumbangkan pengetahuan dengan sangat cepat, dan membantu menggambarkan pemahaman terhadap Hak Asasi Manusia.

“Dengan bergesernya pandangan hukum ini, maka seketika bergeser semua pandangan hukum. Jadi saat ini yang diliat dari pembentukan peraturan itu manusianya,” katanya

Namun sampai sekarang, para pembuat kebijakan masih berdebat, terkait apa yang harus didahulukan dalam pembuatan hukum. Menurutnya, hal hukum akan terus berkembang kearah yang lebih ideal. 

“Makanya dalam pembentukan hukum itu sering kali terjadi mix atau pencampuran antara hukum positifistik, tapi tetap memperhatikan kodrat manusia,” ujarnya.